GAATW ebulletin_header_02
GAATW Logo

Global Alliance Against Traffic in Women

Human Rights
at home, abroad and on the way...

GAATW Logo

Global Alliance Against Traffic in Women

Human Rights
at home, abroad and on the way...

Events and News

Menuju Masyarakat yang Adil dan Inklusif untuk Semua

Pernyataan Global Alliance Against Traffic in Women pada Hari Perempuan Internasional 2022

 

GAATW berdiri dalam solidaritas dengan semua pekerja perempuan – yang dibayar dan tidak dibayar, pekerja lokal dan migran. Kami salut dengan keberanian mereka untuk berorganisasi, membentuk kolektif, dan saling mendukung di masa sulit ini. Kami terinspirasi oleh strategi pengorganisasian yang kreatif dan inovatif.

Kami juga memuji langkah-langkah yang diambil oleh beberapa negara untuk menyediakan berbagai bentuk dukungan darurat kepada para migran, termasuk migran  yang tidak berdokumen, pengungsi, dan pencari suaka. Inisiatif untuk memperpanjang visa dan izin kerja dan untuk membuat firewall antara akses ke layanan dan otoritas imigrasi adalah batu loncatan untuk menciptakan masyarakat yang inklusif. Baru-baru ini, kami tersentuh oleh kemurahan hati negara-negara tetangga terhadap orang-orang yang melarikan diri dari perang di Ukraina.

Dalam Agenda 2030, negara-negara membuat komitmen antara lain untuk mempromosikan inklusi sosial ekonomi dan politik, memastikan pekerjaan yang layak, dan mengakhiri kekerasan terhadap perempuan. Sebagai penandatangan Global Compact on Migration, negara-negara juga telah sepakat untuk memastikan pemberdayaan dan inklusi para migran dan pekerja menuju kohesi sosial. Namun, pengucilan dan hal-hal lain yang telah kita lihat dalam dua tahun terakhir dan, yang terbaru, terhadap orang-orang non-Eropa yang melarikan diri dari Ukraina (towards non-Europeans fleeing Ukraine), memberi tahu kita bahwa kenyataannya sangat berbeda. Sayangnya, negara-negara  dan kita sebagai manusia memiliki banyak alasan untuk membenarkan pengucilan dan penolakan terhadap sesama manusia. Gender, ras, kelas, kasta, agama, dan etnis digunakan dalam konteks yang berbeda, baik di dalam negara maupun lintas batas, untuk membenarkan eksklusi.

Penelitian kami baru-baru ini di Asia Tenggara dan Selatan, Eropa, Amerika Latin, dan Amerika Utara menunjukkan bahwa migran dan perempuan yang diperdagangkan terus menghadapi kekerasan, pengucilan, dan kondisi kerja yang buruk di negara tujuan maupun setelah kembali ke negaranya.

Di negara tujuan, perempuan migran melaporkan rasisme dan diskriminasi berdasarkan kebangsaan, etnis, atau ras mereka, yang berarti bahwa mereka hanya ditawari pekerjaan dalam pekerjaan '3D' dirty, dangerous, and difficult (kotor, berbahaya, dan sulit). Perempuan Cina dan Amerika Latin di Kanada, dan Perempuan Bolivia di Brasil dilaporkan ditolak bekerja di bagian layanan pelanggan, seperti bartender atau asisten toko, karena penampilan mereka. Perempuan Asia Selatan di Timur Tengah melaporkan mendapat hinaan rasial di tempat kerja. Perempuan Thailand dan Vietnam di Eropa ditolak aksesnya atas mobilitas kelas, dan bahkan generasi kedua tetap terjebak oleh glass ceiling (hambatan yang dihadapi oleh perempuan dan kaum minoritas saat ingin mencoba peran lebih tinggi).

Banyak perempuan mengatakan kepada kami bahwa mereka mengambil pekerjaan di bawah – tidak sesuai dengan tingkat pendidikan dan pengalaman mereka,  karena kualifikasi mereka tidak diakui di negara tujuan. Meskipun memiliki gelar universitas dan pengalaman bertahun-tahun dalam lingkungan profesional, perempuan Cina di Kanada dan perempuan Venezuela di Brasil dan Peru harus menerima pekerjaan di lokasi konstruksi dan pertanian, atau sebagai pekerja rumah tangga.

Bahasa adalah penghalang lain yang menghalangi perempuan migran untuk mendapatkan pekerjaan yang layak, termasuk pekerjaan yang sesuai dengan kualifikasi mereka, dan berpartisipasi dalam kehidupan sosial di negara baru mereka. Perempuan Filipina di Jerman dan Prancis, dan perempuan Cina di Kanada melaporkan: mereka kesulitan mencari pekerjaan, menegosiasikan kondisi kerja dengan majikan, atau mencari tahu ke mana harus mengadu jika ada masalah di tempat kerja. Bahkan ketika perempuan telah mengambil kelas bahasa yang disediakan negara, ini tidak cukup untuk inklusi dan partisipasi yang berarti dalam masyarakat. Dalam banyak kasus, perempuan migran hanya mengandalkan migran lain dari negara asal mereka untuk bekerja, tinggal, dan bersosialisasi.

Semua ini berkontribusi pada situasi di mana perempuan migran mengalami berbagai kondisi eksploitatif, termasuk bekerja tanpa kontrak, dibayar rendah atau tidak dibayar sama sekali, tidak menerima jaminan sosial, diberhentikan tanpa alasan, atau diberi tugas yang tidak mereka setujui.  Seorang perempuan tidak berdokumen di Inggris mengatakan dia merasa dipaksa untuk terus bekerja,  meskipun ada risiko infeksi COVID.

Sekembalinya ke negara asal mereka, perempuan sering kali menemukan situasi sosial ekonomi yang sama yang telah mendorong migrasi mereka pada awalnya. Di Bangladesh, Kolombia, India, Nepal, Filipina, Sri Lanka, Thailand, dan Vietnam, para perempuan migran yang kembali ke negaranya,  memberi tahu kami bahwa mereka berjuang untuk menemukan pekerjaan yang memungkinkan mereka menghidupi diri sendiri dan keluarga mereka. Mereka yang tidak dapat mengirimkan uang selama migrasi mereka (karena berbagai alasan, termasuk karena mereka diperdagangkan) disalahkan atas 'migrasi mereka yang gagal' dan atas pinjaman yang diambil keluarga mereka untuk membiayai pekerjaan mereka di luar negeri.

Perempuan di Asia Selatan, secara khusus, menyampaikan stigma yang mereka rasakan dari keluarga dan komunitas mereka. Banyak yang dianggap sebagai 'perempuan jahat' karena meninggalkan keluarga mereka untuk bekerja di negara lain - terlepas dari kenyataan bahwa mereka telah bermigrasi justru untuk kesejahteraan keluarga mereka. Beberapa dari mereka yang diduga melakukan 'pekerjaan asusila', menyebabkan ketegangan dalam pernikahan. Sedangkan perempuan lajang merasa bahwa  mereka memiliki prospek pernikahan yang lebih sedikit.

Banyak perempuan yang kembali selama pandemi COVID-19, biasanya karena kontrak mereka diputus, tidak mendapat dukungan dari kedutaan atau pemerintah mereka. Mereka harus menanggung sendiri tiket penerbangan, tes COVID, dan karantina saat kembali, yang menghabiskan tabungan mereka dan memperburuk kondisi keuangan mereka.

Sementara Ketika beberapa pemerintah memiliki berbagai program dan skema pinjaman untuk mendukung reintegrasi migran, seperti di Sri Lanka, Bangladesh, dan Filipina, banyak perempuan tidak tahu tentang program-program ini,  dan merasa sulit untuk mengaksesnya, atau merasa tidak memenuhi kebutuhan mereka.

Baik di negara tujuan maupun negara asal, perempuan memikul tanggung jawab yang tidak proporsional untuk pekerjaan perawatan yang tidak dibayar seperti memasak, membersihkan, merawat anak-anak dan orang tua. Mereka menyampaikan bahwa mereka memiliki sedikit waktu untuk istirahat, pengembangan profesional, atau partisipasi dalam kegiatan masyarakat atau kelompok pendukung.

Menimbang tantangan tersebut, berikut rekomendasi GAATW kepada negara-negara untuk mempromosikan inklusi sosial dan ekonomi pekerja migran perempuan di negara tujuan dan setelah kembali:

  • Berinvestasi dalam penciptaan pekerjaan yang membayar upah layak
  • Mempromosikan pengorganisasian diri dan serikat pekerja untuk semua jenis pekerja, termasuk  pekerja migran. Mengecam dan memerangi penghancuran serikat pekerja
  • Mempromosikan citra positif para migran dan memerangi xenofobia, rasisme, dan stigma sehingga para migran dapat bekerja dan hidup bebas dari diskriminasi dan ketakutan akan pengucilan
  • Mengakui ijazah, sertifikat, dan kualifikasi lain para migran dari negara asal mereka.
  • Mengenali dan memanfaatkan keterampilan migran yang diperoleh di negara tujuan.
  • Menyediakan kursus bahasa gratis dan jangka panjang untuk para migran
  • Memperkenalkan program-program untuk reintegrasi migran yang kembali secara berkelanjutan. Jika ada program seperti itu, pastikan bahwa program tersebut sesuai dengan kebutuhan migran yang kembali dan dapat diakses oleh semua, termasuk mereka yang bermigrasi secara tidak teratur (migrated irregularly)
  • Mempromosikan penilaian, pengurangan, dan redistribusi pekerjaan perawatan yang tidak dibayar
  • Mendukung migran yang baru tiba atau yang baru kembali melalui kepraktisan saat mereka menetap, seperti penitipan anak, voucher, tiket transportasi umum, dll.

Jika pandemi yang sedang berlangsung mengajarkan kita satu hal, itu adalah bahwa kita tidak boleh mencoba membangun kembali (mengokohkan) diskriminasi dan pengucilan. Biarkan pesan pemersatu dari jutaan pekerja perempuan di seluruh dunia menginspirasi dan membimbing kita untuk mewujudkan kontrak sosial baru.

Global Alliance Against Traffic in Women (GAATW) adalah Aliansi lebih dari 80 organisasi non-pemerintah dari Afrika, Asia, Eropa, LAC, dan Amerika Utara. Sekretariat Internasional GATW berkedudukan di Bangkok, Thailand dan mengoordinasikan kegiatan Aliansi, mengumpulkan dan menyebarkan informasi, dan mengadvokasi atas nama Aliansi di tingkat regional dan internasional.

Organisasi Anggota termasuk organisasi hak migran; organisasi anti-perdagangan manusia; kelompok pekerja migran, pekerja rumah tangga, penyintas perdagangan manusia dan pekerja seks yang terorganisir sendiri; organisasi hak asasi manusia dan hak perempuan; dan penyedia layanan langsung.