GAATW ebulletin_header_02
GAATW Logo

Global Alliance Against Traffic in Women

Human Rights
at home, abroad and on the way...

GAATW Logo

Global Alliance Against Traffic in Women

Human Rights
at home, abroad and on the way...

Events and News

Review Mechanism of UNTOC - update

The current review process timeline

The UNTOC Review Mechanism is taking place in four stages known as “clusters” from December 2020 to December 2030.

Each cluster focuses on different parts of UNTOC and its protocols. We are currently on Cluster 1 which focuses on “criminalisation.” This means states are currently being reviewed against Articles 3 and 5 of the Trafficking in Persons Protocol; Articles 3, 5 and 6 of the Smuggling of Migrants Protocol. These are the articles that relate to the legal definitions of trafficking and smuggling, and the obligation on states to criminalise trafficking and smuggling.

The review under this cluster of the following countries of GAATW members started last year:

Africa: Nigeria; Asia: Cambodia, Nepal, Pakistan, Republic of Korea; Europe: Belarus, Poland, Moldova, Switzerland, Ukraine, United Kingdom; Latin America: Argentina, Guatemala

By now, these countries should have all submitted their reports (known as “self-assessment questionnaires”). The next step will be for experts from the UNODC to prepare a “list of observations.” These lists will include key issues relating to your countries’ compliance with Articles 3 and 5 of the Palermo Protocol. 

The following countries of GAATW members are starting now:

Asia: Bangladesh, India, Mongolia, Thailand; Europe: Austria, Bosnia and Herzegovina, Bulgaria, European Union, Finland, Netherlands, Turkey; Latin America: Brazil, Mexico, Peru; North America: Canada.

These states should all be submitting their self-assessment questionnaires this month. Therefore if you want to try and input into this process, the time is now! As mentioned above, the best way would be to get in touch with your government contacts responsible for anti-trafficking work although again I understand some of you have done so without success.

Other opportunities to input

1. Reviewing States

Each country is reviewed by two other countries. For example, Nepal is being reviewed by Vietnam and St Lucia. Therefore members in Vietnam could be asked to help with their Government’s review of Nepal. We understand that some members have been approached by their Government to help with the review of another country in this way.

If you have been approached by your Government in this way, we would love to hear from you. You may also want to consider proactively reaching out to your Government’s focal point to see if you can participate in their review of other countries, as well their own self-reporting.

2. The Transparency Pledge

The UNODC, in partnership with Global Initiative is encouraging Member States to sign up to a “Transparency Pledge”. In the pledge States promise to consult with civil society and involve them throughout the review process.

If you’re able to speak with Government contacts about the Review Mechanism, you could also raise the pledge and try and encourage your Government to sign up.

You can find the text of the pledge at p.46 of this document.

Case studies of CSO engagement with the Review Mechanism – Canada and Mexico

The Government of Canada seems to have undertaken a fairly rigorous consultation with NGOs and will be submitting their questionnaire this month. The Government instructed an NGO, the International Centre for Criminal Law Reform, to conduct this national consultation, and the ICCLR has prepared a very detailed 72-page report for the Government to use in its responses. GAATW Board member Annalee Lepp and our member SWAN Vancouver were involved in this consultation.

The Government of Mexico has received funding from the United States to undertake a “pilot initiative” with UNODC to engage NGO stakeholders in its review mechanism process. The Pilot Initiative in Mexico was formerly launched on 28 April.

The Constructive Dialogue - July 2022

As part of the Review Mechanism, UNODC will also organise a series of “constructive dialogues.” The constructive dialogues will take place on three different dates. The one about migrants smuggling and human trafficking is scheduled for 1 July 2022.

The purpose of the constructive dialogue is to brief civil society and stakeholders on how the review process has gone for each country, and also to give stakeholders the opportunity to make suggestions about ways to improve the implementation of the Palermo Protocol. The deadline for registering for the constructive dialogue has passed but the GAATW International Secretariat is planning to attend and I can update you all afterwards.

 

Menuju Masyarakat yang Adil dan Inklusif untuk Semua

Pernyataan Global Alliance Against Traffic in Women pada Hari Perempuan Internasional 2022

 

GAATW berdiri dalam solidaritas dengan semua pekerja perempuan – yang dibayar dan tidak dibayar, pekerja lokal dan migran. Kami salut dengan keberanian mereka untuk berorganisasi, membentuk kolektif, dan saling mendukung di masa sulit ini. Kami terinspirasi oleh strategi pengorganisasian yang kreatif dan inovatif.

Kami juga memuji langkah-langkah yang diambil oleh beberapa negara untuk menyediakan berbagai bentuk dukungan darurat kepada para migran, termasuk migran  yang tidak berdokumen, pengungsi, dan pencari suaka. Inisiatif untuk memperpanjang visa dan izin kerja dan untuk membuat firewall antara akses ke layanan dan otoritas imigrasi adalah batu loncatan untuk menciptakan masyarakat yang inklusif. Baru-baru ini, kami tersentuh oleh kemurahan hati negara-negara tetangga terhadap orang-orang yang melarikan diri dari perang di Ukraina.

Dalam Agenda 2030, negara-negara membuat komitmen antara lain untuk mempromosikan inklusi sosial ekonomi dan politik, memastikan pekerjaan yang layak, dan mengakhiri kekerasan terhadap perempuan. Sebagai penandatangan Global Compact on Migration, negara-negara juga telah sepakat untuk memastikan pemberdayaan dan inklusi para migran dan pekerja menuju kohesi sosial. Namun, pengucilan dan hal-hal lain yang telah kita lihat dalam dua tahun terakhir dan, yang terbaru, terhadap orang-orang non-Eropa yang melarikan diri dari Ukraina (towards non-Europeans fleeing Ukraine), memberi tahu kita bahwa kenyataannya sangat berbeda. Sayangnya, negara-negara  dan kita sebagai manusia memiliki banyak alasan untuk membenarkan pengucilan dan penolakan terhadap sesama manusia. Gender, ras, kelas, kasta, agama, dan etnis digunakan dalam konteks yang berbeda, baik di dalam negara maupun lintas batas, untuk membenarkan eksklusi.

Penelitian kami baru-baru ini di Asia Tenggara dan Selatan, Eropa, Amerika Latin, dan Amerika Utara menunjukkan bahwa migran dan perempuan yang diperdagangkan terus menghadapi kekerasan, pengucilan, dan kondisi kerja yang buruk di negara tujuan maupun setelah kembali ke negaranya.

Di negara tujuan, perempuan migran melaporkan rasisme dan diskriminasi berdasarkan kebangsaan, etnis, atau ras mereka, yang berarti bahwa mereka hanya ditawari pekerjaan dalam pekerjaan '3D' dirty, dangerous, and difficult (kotor, berbahaya, dan sulit). Perempuan Cina dan Amerika Latin di Kanada, dan Perempuan Bolivia di Brasil dilaporkan ditolak bekerja di bagian layanan pelanggan, seperti bartender atau asisten toko, karena penampilan mereka. Perempuan Asia Selatan di Timur Tengah melaporkan mendapat hinaan rasial di tempat kerja. Perempuan Thailand dan Vietnam di Eropa ditolak aksesnya atas mobilitas kelas, dan bahkan generasi kedua tetap terjebak oleh glass ceiling (hambatan yang dihadapi oleh perempuan dan kaum minoritas saat ingin mencoba peran lebih tinggi).

Banyak perempuan mengatakan kepada kami bahwa mereka mengambil pekerjaan di bawah – tidak sesuai dengan tingkat pendidikan dan pengalaman mereka,  karena kualifikasi mereka tidak diakui di negara tujuan. Meskipun memiliki gelar universitas dan pengalaman bertahun-tahun dalam lingkungan profesional, perempuan Cina di Kanada dan perempuan Venezuela di Brasil dan Peru harus menerima pekerjaan di lokasi konstruksi dan pertanian, atau sebagai pekerja rumah tangga.

Bahasa adalah penghalang lain yang menghalangi perempuan migran untuk mendapatkan pekerjaan yang layak, termasuk pekerjaan yang sesuai dengan kualifikasi mereka, dan berpartisipasi dalam kehidupan sosial di negara baru mereka. Perempuan Filipina di Jerman dan Prancis, dan perempuan Cina di Kanada melaporkan: mereka kesulitan mencari pekerjaan, menegosiasikan kondisi kerja dengan majikan, atau mencari tahu ke mana harus mengadu jika ada masalah di tempat kerja. Bahkan ketika perempuan telah mengambil kelas bahasa yang disediakan negara, ini tidak cukup untuk inklusi dan partisipasi yang berarti dalam masyarakat. Dalam banyak kasus, perempuan migran hanya mengandalkan migran lain dari negara asal mereka untuk bekerja, tinggal, dan bersosialisasi.

Semua ini berkontribusi pada situasi di mana perempuan migran mengalami berbagai kondisi eksploitatif, termasuk bekerja tanpa kontrak, dibayar rendah atau tidak dibayar sama sekali, tidak menerima jaminan sosial, diberhentikan tanpa alasan, atau diberi tugas yang tidak mereka setujui.  Seorang perempuan tidak berdokumen di Inggris mengatakan dia merasa dipaksa untuk terus bekerja,  meskipun ada risiko infeksi COVID.

Sekembalinya ke negara asal mereka, perempuan sering kali menemukan situasi sosial ekonomi yang sama yang telah mendorong migrasi mereka pada awalnya. Di Bangladesh, Kolombia, India, Nepal, Filipina, Sri Lanka, Thailand, dan Vietnam, para perempuan migran yang kembali ke negaranya,  memberi tahu kami bahwa mereka berjuang untuk menemukan pekerjaan yang memungkinkan mereka menghidupi diri sendiri dan keluarga mereka. Mereka yang tidak dapat mengirimkan uang selama migrasi mereka (karena berbagai alasan, termasuk karena mereka diperdagangkan) disalahkan atas 'migrasi mereka yang gagal' dan atas pinjaman yang diambil keluarga mereka untuk membiayai pekerjaan mereka di luar negeri.

Perempuan di Asia Selatan, secara khusus, menyampaikan stigma yang mereka rasakan dari keluarga dan komunitas mereka. Banyak yang dianggap sebagai 'perempuan jahat' karena meninggalkan keluarga mereka untuk bekerja di negara lain - terlepas dari kenyataan bahwa mereka telah bermigrasi justru untuk kesejahteraan keluarga mereka. Beberapa dari mereka yang diduga melakukan 'pekerjaan asusila', menyebabkan ketegangan dalam pernikahan. Sedangkan perempuan lajang merasa bahwa  mereka memiliki prospek pernikahan yang lebih sedikit.

Banyak perempuan yang kembali selama pandemi COVID-19, biasanya karena kontrak mereka diputus, tidak mendapat dukungan dari kedutaan atau pemerintah mereka. Mereka harus menanggung sendiri tiket penerbangan, tes COVID, dan karantina saat kembali, yang menghabiskan tabungan mereka dan memperburuk kondisi keuangan mereka.

Sementara Ketika beberapa pemerintah memiliki berbagai program dan skema pinjaman untuk mendukung reintegrasi migran, seperti di Sri Lanka, Bangladesh, dan Filipina, banyak perempuan tidak tahu tentang program-program ini,  dan merasa sulit untuk mengaksesnya, atau merasa tidak memenuhi kebutuhan mereka.

Baik di negara tujuan maupun negara asal, perempuan memikul tanggung jawab yang tidak proporsional untuk pekerjaan perawatan yang tidak dibayar seperti memasak, membersihkan, merawat anak-anak dan orang tua. Mereka menyampaikan bahwa mereka memiliki sedikit waktu untuk istirahat, pengembangan profesional, atau partisipasi dalam kegiatan masyarakat atau kelompok pendukung.

Menimbang tantangan tersebut, berikut rekomendasi GAATW kepada negara-negara untuk mempromosikan inklusi sosial dan ekonomi pekerja migran perempuan di negara tujuan dan setelah kembali:

  • Berinvestasi dalam penciptaan pekerjaan yang membayar upah layak
  • Mempromosikan pengorganisasian diri dan serikat pekerja untuk semua jenis pekerja, termasuk  pekerja migran. Mengecam dan memerangi penghancuran serikat pekerja
  • Mempromosikan citra positif para migran dan memerangi xenofobia, rasisme, dan stigma sehingga para migran dapat bekerja dan hidup bebas dari diskriminasi dan ketakutan akan pengucilan
  • Mengakui ijazah, sertifikat, dan kualifikasi lain para migran dari negara asal mereka.
  • Mengenali dan memanfaatkan keterampilan migran yang diperoleh di negara tujuan.
  • Menyediakan kursus bahasa gratis dan jangka panjang untuk para migran
  • Memperkenalkan program-program untuk reintegrasi migran yang kembali secara berkelanjutan. Jika ada program seperti itu, pastikan bahwa program tersebut sesuai dengan kebutuhan migran yang kembali dan dapat diakses oleh semua, termasuk mereka yang bermigrasi secara tidak teratur (migrated irregularly)
  • Mempromosikan penilaian, pengurangan, dan redistribusi pekerjaan perawatan yang tidak dibayar
  • Mendukung migran yang baru tiba atau yang baru kembali melalui kepraktisan saat mereka menetap, seperti penitipan anak, voucher, tiket transportasi umum, dll.

Jika pandemi yang sedang berlangsung mengajarkan kita satu hal, itu adalah bahwa kita tidak boleh mencoba membangun kembali (mengokohkan) diskriminasi dan pengucilan. Biarkan pesan pemersatu dari jutaan pekerja perempuan di seluruh dunia menginspirasi dan membimbing kita untuk mewujudkan kontrak sosial baru.

Global Alliance Against Traffic in Women (GAATW) adalah Aliansi lebih dari 80 organisasi non-pemerintah dari Afrika, Asia, Eropa, LAC, dan Amerika Utara. Sekretariat Internasional GATW berkedudukan di Bangkok, Thailand dan mengoordinasikan kegiatan Aliansi, mengumpulkan dan menyebarkan informasi, dan mengadvokasi atas nama Aliansi di tingkat regional dan internasional.

Organisasi Anggota termasuk organisasi hak migran; organisasi anti-perdagangan manusia; kelompok pekerja migran, pekerja rumah tangga, penyintas perdagangan manusia dan pekerja seks yang terorganisir sendiri; organisasi hak asasi manusia dan hak perempuan; dan penyedia layanan langsung.

GAATW Members in Latin America mark the 16 days of activism against gender-based violence

banner porta de saidaOn 22 November, ASBRAD, Brazil, launched a new project called Porta de Saída (Exit Door), a partnership between Asbrad, the Sao Paulo Ministry of Labour, and Sodexo, which distributed 400,000 Brazilian reals in food coupons. The initiative will also grant partial and full scholarships to 400 women victims of domestic violence to pursue higher education courses.

Porta de Saida aims to support adult, adolescent, elderly, and trans women survivors of abuse, domestic violence, human trafficking or slavery-like labour who are unemployed or can’t secure a minimum of three daily meals for themselves and their families. It also seeks to promote their autonomy and a life free of violence through access to education.

The objective is to temporarily cover the basic needs of these women, especially those who have lost their jobs in the context of the COVID-19 pandemic, as well as to provide tools to transform their lives and facilitate access to higher education.

Continue Reading

Amplifying women (migrant) workers’ voices

OWOL issue5 coverIn August, we started publishing a new monthly e-magazine, titled Our Work, Our Lives. Each issue focuses on a simple theme that resonates with the everyday lives of low-wage women (migrant) workers, their joys, sorrows, struggles and, most importantly, their agendas for change. Most of the women are domestic workers, weavers, garment workers, sex workers, porters, farmers, entertainment workers, and daily-wage labourers.

We have now published five issues, each containing between 16 and 35 materials – stories told by the women, interviews and reflections by civil society colleagues who work with them. Although most stories are from countries in Asia and Africa, we have also featured some from Europe, Latin America, and North America.

Continue Reading

GAATW goes audio with the ‘Migrant Rights, Migrant Realities’ podcast

MRightsMRealitiesIn October, we launched a new podcast titled Migrant Rights, Migrant Realities, which gives listeners undivided access to experts and human rights advocates working on labour migration issues. The podcast covers a number of topics related to socioeconomic aspects of women’s paid and unpaid labour in Bangladesh, India, Nepal, and Sri Lanka and migration to the Middle East.

In the episodes Indian women’s migration: Journeys of social stigma and discrimination and The public and private power of women migrants from India, Dr Praveena Kodoth of the Centre for Development Studies (CDS) gives examples on how family, community, and the state disempower migrant domestic workers through social norms and policies (or lack thereof). In When Sri Lankan women migrant workers face social welfare deficits at home and abroad,  Dr Bilesha Weeraratne of the Institute of Policy Studies of Sri Lanka (IPS) shares data that illustrate a longstanding irony in women’s labour migration: they balance care deficits abroad and contribute huge amounts of remittances at home, but their social protection is given least priority on both counts. 

Continue Reading